Pergeseran paradigma kebijakan ekonomi, terjangan globalisasi yang tanpa kompromi, derasnya arus investasi, kian menguatkan konflik perebutan akses pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah menjadi tak terperi. Untuk itu, proses distribusi dan redistribusi tanah untuk pertanian maupun nonpertanian harus segera direalisasi, dengan disertai reformasi akses, serta perlunya pengaturan untuk landasan pembangunan agar tidak menimbulkan konflik/sengketa pertanahan yang kian massif, berskala luas dan multi dimensi.
Reformasi Agraria merupakan implementasi dari mandat Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Keputusan MPR RI Nomor 5/MPR/2003 tentang Penugasan kepada MPR-RI untuk Menyampaikan Saran atas Laporan Pelaksanaan Keputusan MPR-RI oleh Presiden, DPR, BPK dan MA pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2003.
Dalam tataran operasional, Reformasi Agraria dilaksanakan melalui Penataan kembali sistem politik dan hukum pertanahan berdsarkan Pancasila, UUD 1945 dan Undang-Undsang Pokok Agraria serta Proses Penyelenggaraan Land Reform Plus, yaitu penataan aset tanah bagi masyarakat dan Penataan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik yang memungkinkan masyarakat untuk memanfaatkan tanahnya secara baik. Di dalam penyelenggaraan Land Reform Plus diselenggarakan dua hal penting yaitu Aset Reform dan Akses Reform.
Mengingat perannya yang penting dan strategis tersebut maka RUU Pertanahan diperlukan pemahaman bersama yang mendalam dan seksama, agar produk RUU Pertanahan merupakan RUU yang sangat strategis dan menerjemahkan kedaulatan bangsa atas wilayahnya. Apalagi, RUU ini dalam naskah akademiknya dimaksudkan sebagai implementasi UU Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 dan jawaban dalam menyelesaikan persoalan pertanahan akibat tak dijalankannya Ketentuan Peraturan Pertanahan secara konsekuen selama Orde Baru hingga sekarang