Dalam rangka memberikan masukan kepada pemerintah maupun DPR agar dapat membuat keputusan terbaik yang terkait dengan pengaturan pertanahan di Indonesia, dan juga memberikan tambahan pengetahuan khususnya tentang RUU Pertanahan baik bagi Dosen, mahasiswa dan masyarakat maka Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) bekerja sama dengan Ikatan Alumni Fakultas Hukum UAJY (FH UAJY) menyelenggarakan Seminar Nasional dengan thema, “RUU Pertanahan ditinjau dari aspek Bisnis dan Investasi dalam semangat Pengembangan dan Pembangunan Indonesia”.
Perhelatan Seminar nasional yang digelar di Ruang Auditorium, Kampus Alfonsus, Fakultas Hukum UAJY, Jl. Mrican Baru 28 ini menghadirkan para pembicara dari kalangan Pengacara/lawyer, Notaris/Praktisi Pertanahan, LSM, Akademisi, dan Pengusaha Real Estate. Sedangkan peserta yang berjumlah tidak kurang dari 150 itu terdiri atas para dosen, mahasiswa, Notaris/PPAT, Pengusaha Real estate, dan masyarakat umum.
Sebagaimana diketahui bahwa, pergeseran paradigma kebijakan ekonomi,terjangan globalisasi yang tanpa kompromi, derasnya arus investasi kian menguatkan konflik perebutan akses pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah menjdi tak terperi akibat ketimpangan/ketidakadilan dalam struktur penguasaan/pemilikan tanah. Untuk itu, proses distribusi dan redistribusi tanah untuk pertanian maupun nonpertanian harus segera dilakukan, dengan disertai reformasi akses, serta perlunya pengaturan untuk landasan pembangunan agar tidak menimbulkan konflik/sengketa pertanahan yang massif, berskala luas dan multi dimensi.
Dalam tataran operasional, Reformasi Agraria dilaksanakan melalui Penataan kembali sistem politik dan hukum pertanahan berdsarkan Pancasila, UUD 1945 dan Undang-Undsang Pokok Agraria serta Proses Penyelenggaraan Land Reform Plus, yaitu penataan aset tanah bagi masyarakat dan Penataan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik yang memungkinkan masyarakat untuk memanfaatkan tanahnya secara baik. Di dalam penyelenggaraan Land Reform Plus diselenggarakan dua hal penting yaitu Aset Reform dan Akses Reform.
Menurut Drs. Tavib Agus R, M.Si. (Kepala Bapeda DIY), di dalam pembahasan RUU Pertanahan ada pihak-pihak yang setuju, ada pula pihak yang menolak. Soal pembaruan pertanahan ini merupakan satu paket dalam bidang agraria. Sementara itu, menurut Kriswidarto, S.H., M.M., M.Kn. (BPN DIY), bahwa agraria dalam arti luas terdapat pada pasal 33 UUD 1945. Tanah merupakan sebagian kecil dari agraria. RUU pertanahan hanya melengkapi, menyempurnakan hal-hal yang belum diatur dalam UUPA, dan mengurangi ketidaksinkronan.
Hary Prabowo, S.Fil. (INDIES/ Kajian Agraria) mengatakan bahwa masalah tanah adalah masalah yang maha penting dan problematis. Kalau kita ingin melihat Indonesia, lihatlah di desa di mana pelanggaran HAM terbesar ada disana. Sejak VOC hingga PTPN. Negara sebagai tuan tanah, bukan sebagai pengelola tanah yang dapat memberikan tanah kepada masyarakat yang membutuhkan. Tanah bekas kolonial pun dikuasai negara. secara fundamental persoalan ini gagal dirumuskan UUPA.
Drs. Andreas Budi Susetyo, S.E., M.H. (REI DIY) berharap agar RUU tidak merampas hak rakyat. Di DIY, ada peraturan yang rumit untuk masyarakat keturunan tertentu. Ini mengakibatkan kerugian waktu dan uang. Saat terjadi jual beli tanah yang dibeli warga keturunan. Semua ini terjadi karena adanya SK tahun 1975 yang sudah tidak sesuai dengan alam demokrasi saat ini. Dalam pelaksanaannya, diskriminasi rasial terjadi bagi ras tionghoa. SK ini harus dicabut karena melanggar HAM.
Sedangkan Dr. V. Hari Supriyanto, S.H., M.Hum. (Dosen FH UAJY) mengatakan, bahwa RUU pertanahan harus mewujudkan falsafah Pancasla, yakni Bumi, air dan sumber daya alam di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Negara hanya menguasai, bukan memiliki. Ada kesan bahwa negara memanfaatkan wewenang memiliki tanah dan mnangabaikan kewajiban mengelola tanah. Kunci reforma agraria adalah keadilan menyejahterakan, dan Pembahasan RUU Pertanahan sebaiknya tidak tergesa-gesa sehiungga apabila nanti RUU ini menjadi UU, akan dapat berguna bagi semua pihak.
Menurut Agung Iip, S.H., M.Kn. (Notaris PPAT/Alumni FH UAJY), saat ini permasalahan yang terjadi adalah tumpang tindih peraturan kebijakan pertanahan. Adanya ketimpangan penguasaan tanah dalam wujud kemiskinan struktural. Ada potensi tanah yang besar namun tidak dimanfaatkan dengan baik. Petani sulit untuk membeli tanah untuk sawah, namun sebaliknya pengusaha dengan mudah membeli tanah tersebut untuk dibangun sebagai perumahan. Banyak orang kaya memiliki tanah pertanian.